“Apa warna matamu?”
“…”
“Warna
mata siapa yang kau tahu?”
---
Aella duduk, mengernyitkan dahinya melihat proyeksi papan Snellen
–bagan penuh huruf yang digunakan untuk mengecek ketajaman mata– yang berada
sejauh 6 meter darinya sebelum menatap Ciro penuh kebingungan.
Ciro hanya membalasnya dengan seringai lebar sambil duduk di kursi di
samping kanannya sambil memencet-mencet remote control proyektor yang
menampilkan proyeksi papan Snellen di depannya.
“Udah siap?” tanya Ciro akhirnya.
Alis Aella terangkat sebelah –ya.., dia memang
hanya bisa mengangkat alis sebelah kanannya. “Ga perlu pake Phoropter?”
balasnya sambil menunjuk alat aneh yang penuh bermacam lensa dan digunakan
sebagai alat ukur untuk resep kacamata.
Ciro menggeleng. “Aku kan ga ngerti pakainya,”
jawabnya sambil mendorong Phoropter yang tergantung dekat dengan kepala Aella
menjauh ke belakang. “Bahkan aku baru tau kalau ini namanya Pho-apa? Lagian kan
kamu dokternya.”
“Phoropter. Trus kenapa aku yang duduk disini?"
Aella terlihat makin bingung.
“Duduk aja.” Ciro memposisikan kepala Aella hingga
mengarah ke papan. “Udah siap?”
“Siap apa?” tanya Aella lagi.
“Lihat ke depan aja.”
---
Hampir tak ada orang lagi di klinik mata ini. Jam mulai menunjuk angka sembilan dan Aella yang sudah berada disini
dari jam delapan pagi tak tahu mengapa dirinya masih berada −atau lebih tepatnya– terduduk disini.
Dirinya baru ingin melontarkan tanya lagi ketika Ciro memencet
remote control dan proyeksi Snellen di depannya berubah. Matanya terfokus.
Menatap papan yang biasanya hanya menampilkan sekumpulan huruf tanpa arti.
‘Seseorang bertanya: Apa warna matamu?’
Aella menoleh lagi. “Lihat sampai selesai. Jangan noleh-noleh
terus,” ucap Ciro dengan mata menyipit, berusaha terlihat tegas, membuat Aella
menyembur tawa kecil namun berhasil membuatnya kembali menghadap ke depan
sebelum Ciro memencet remote control lagi.
‘Hitam? Coklat? Atau kombinasi keduanya mungkin?’
‘Aku tak tahu. Hanya mampu membalas tanyanya dengan banyak tanya.‘
Aella menoleh sekilas. Memaparkan senyum kecil yang mulai terbentuk
di sudut bibirnya.
‘Sayangnya, tanyanya meninggalkan gumam di benakku.’
‘Membuatku bertanya tentang warna dan matamu.’
‘Untungnya, tak seperti mataku sendiri, aku mampu menatap dalam
matamu.’
Kali ini, Aella menggapai tangan Ciro. Mengaitkan
jemari mereka.
‘Hitam itu matamu ketika terpejam.’
‘Putih itu matamu ketika membelalak.’
“Aw!” Ciro menarik tangannya. “Kenapa cubit-cubit?”
Aella hanya menyipitkan matanya. Sudut bibirnya mengancam untuk
menyebar senyum.
Ciro tertawa pelan. Meraih tangan Aella lagi.
‘Merah itu matamu ketika kesal.’
‘’Redup’ seperti saat kacamatamu pecah untuk yang kesekian kalinya.‘
‘Kuning itu matamu ketika bercerita.’
‘‘Wah‘ seperti saat dirimu baru pulang praktik
kerja lapangan.‘
‘Hijau itu matamu ketika memberi.’
‘’Tenteram’ seperti saat kamu melihat si kakek
memakai kacamata barunya.’
‘Lebih dari semua itu, biru itu matamu yang selalu
bahagia.‘
‘‘Cerah‘ seperti langit dengan senyum dan tawamu
sebagai awan.‘
‘‘Terang‘ seperti malam berhias bulan dan
bintang.‘
‘Aku tak tahu berapa banyak gradasi yang dimiliki
warna.’
‘Tapi aku tahu pasti bahwa aku ingin melihatnya
dari matamu.’
---
Ciro mematikan proyektor. Kata-kata yang
berhamburan di papan hilang dalam sekejap.
“Hmm..,” gumam Ciro, mengernyitkan dahinya. “Itu tadi terlalu cheesy ya.”
“Kamu tahu ga?” ucap Aella pelan.
Ciro hanya tersenyum kecil, mengangkat bahunya dan mulai beranjak keluar
ruangan sambil menggandeng tangan Aella.
“Itu tadi cheesy banget
sih.” Aella tersenyum lebar. “Tapi baru
kali ini aku benar-benar tahu warna mataku. Thanks.”
Ciro mengecup pelan lesung pipi Aella. “Thanks juga buat bertahan
dalam ke-cheesy-an,” balasnya sambil
menyeringai.
“Yah.., paling engga, lain kali kalau aku ditanya, aku bisa jawab
warna mataku apa.” Senyum Aella makin melebar ketika teringat sesuatu. “Ngomong-ngomong,
kamu buta warna kan?”
=)
SVialli
[21.26]
[2 - 07/02/12]
Behind the words: here.
No comments:
Post a Comment